REUNI AKBAR ALUMNI 1989 SMPN 1 SAPE TAHUN 2019 JUMPA KANGEN GENERASI BIRU 1989MERAJUT UKHUWAH, MENYAMBUNG SILATURRAHIM ZELLOVER INDONESIA BEROJENG, BERGEMBIRA & BERAMAL BERSATU DALAM CANDA & TAWA DI UDARA dan DI DARAT

Senin, 20 Agustus 2018

DARI TANJUNG, LOMBOK UTARA UNTUK BUNG PRESIDEN

Dari MUH. K. ANWAR
Bapak Presiden RI ...
Saya bukan pendukungmu, bahkan saya pembencimu. Saya tidak rela engkau kembali jadi presiden... 
Bukan karna harga-harga pada mahal seperti kata orang, toh kami masih pada mampu untuk belanja, padahal kami bukan orang mampu.
Saya menolakmu karna masalah idiologi, masalah kapasitasmu dan semua predikat tentangmu seperti yang saya yakini selama ini.
Maka ketika gempa menimpa kami, dan engkau datang berkunjung. Saya tetap tidak respek. Toh itu tugasmu Bapak presiden.
Maka ketika engkau datang ke Lombok Utara dan masyarakat pada menyambutmu, saya diam saja dan hanya melihatmu dari jauh dgn rasa sinis. Bahkan saya melarang anak istri untuk ikut larut dalam euforia kegembiraan menyambutmu. Padahal saya lihat istri saya pengen juga mendekat, ikut salaman bahkan berfoto-foto seperti yang dilakukan masyarakat lainnya.
Sampai datang waktu sholat. Kulihat Bapak Presiden tetap ingin sholat jamaah bersama kami walau diingatkan sarana yang tidak memungkinkan.
Dengan tenang Bapak Presiden menuju gentong biru tempat penampungan air untuk berwudhu. Sangat hati-hati dan memakai air sedikit sekali, mungkin karna tahu air bersih sulit kami dapatkan. Dan agar jamaah lainnya tetap kebagian air untuk berwudhu.  Lalu menyilahkan orang lain berwudhu di tempat itu. 
Sampai pada saat sholat saya masih mencari-cari kesalahanmu. Bacaannya standar-standar saja seperti imam lainnya. 
Orang-orangpun bersalaman dengan Bapak Presiden  tanpa canggung. Tapi saya tetap menjauh dan tidak peduli.
Ketika Bapak Presiden ikut tidur di tenda, saya diam-diam mulai memperhatikannya. Sosok yang mungkin sudah letih malam itu, tetap tampil penuh perhatian, menyapa rakyatnya dan berdiskusi pendek entah apa yang ditanyakan. 
Tubuh pemimpin itu rela merebahkan tubuhnya di bawa tenda beralaskan karpet di lapangan sepak bola ini dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Sejak tidur ditenda ini. Saya tidak pernah pulas, selalu was was dan terbangun begitu mendengar bunyi apapun. Khawatir dengan gempa susulan, khawatir dengan semua kemungkinan buruk yang siap menimpa kami.
Tapi malam ini,  alampun seperti diam memberi kenyamanan untuk kami beristirahat. Begitu syahdu, begitu damai perasaan keluarga saya.
Baru kali ini saya pulas tertidur seperti ada seseorang yang melindungi kami, menjaga istirahat kami, berada ditengah-tengah kami seperti rakyat lainnya. 
Sebelum tertidur, saya masih melihat dari jauh sosok pemimpin itu terbangun duduk. Mengitari pandangannya melihat dengan seksama pada rakyatnya yang bergelimpangan diatas tikar. 
Bapak Presiden ikut merebahkan badannya, ikut bersama kami merasakan dinginnya malam,
Malam ini begitu damai dan tenang. Bahkan suara tangis anak-anak yang biasanya berisik malam ini tidak terdengar. Anak saya juga tidak rewel. Malam yang begitu tenang. Seakan tidur kami dinina bobokkan oleh seorang ayah pada anak-anaknya. 
Ya, seorang Presiden pada rakyatnya.
Sewaktu Bapak Presiden pamit untuk melanjutkan perjalanannya, barulah saya  mendekat untuk ikut menjabat tangan itu. 
Dengan lirih saya ucapkan terima kasih dan kata maaf yang mungkin tidak dimengerti oleh Bapak Presiden.
Dalam hati saya memohon pada Sang Khalik, maafkan hambamu yang sangat kejam membenci pemimpinnya ini.
Kulihat ketulusan pada wajah kurusnya, kulihat keteduhan pada matanya. Kulihat senyum tipisnya yang ikhlas sambil menjabat tangan saya. Ingin rasanya memeluk tubuh kurus yang keletihan itu sambil memohon maaf, ampun atas kesalahan-kesalahan yang kulakukan. 
Tapi saya hanya bisa berkata pelan " maafkan saya pak."
Hanya itu yang keluar dari mulut saya, karna Bapak Presiden dengan cepat menjabat tangan-tangan yang lain. 
Saya melihat punggung itu menjauh ditemani Bapak Gubernur kami Tuan Guru Bajang.
Sosok pemimpin-penimpin yang baru saja memperlihatkan jatidirinya, tabiat dan karakternya, bukan pencitraan seperti yang selama ini saya tuduhkan...
Maafkan saya Bapak Presiden. Maafkan rakyatmu yang tidak tahu diri, yang hanya mengenalmu dari opini-opini dan sosial media.
Walau saya masih bersyukur, masih sempat meminta maaf sebelum ajal menjemput dan mempertanggung jawabkan semua dosa-dosa saya terhadap sang Ulil Amry Kepada Sang Khalik Allah SWT... 
    
Tanjung, Lombok Utara. Agustus 2018
Muh. K. Anwar

Tidak ada komentar: