Jakarta, September 2018
Oleh : Yudhie Haryono
MWA UTIRA / GEPENTA
Titik balik. Arus balik. Inilah takdir terbaru bangsa kita. Dari usaha pencarian subtansi hidup bernegara (via reformasi) menjadi penemuan kepalsuan hidup bernegara (via reasingisasi). Singkatnya: dari majikan menjadi budak.
Proses transformasi negatif ini terjadi sebagai akibat internalisasi ide-ide pembusukan yang diadopsi oleh warga negara. Proses transformasi negatif bisa tediri dari tiga tahap:
- Tahap invensi, yakni proses di mana ide negatif diciptakan dan dikembangkan;
- Tahap difusi, yakni proses di mana ide negatif dipaksakan kehadirannya dalam bernegara;
- Tahap konsekuensi, yakni hasil transformasi negatif sebagai akibat pengadopsian ataupun penolakan dalam bernegara.
Timbulnya tranformasi negatif dalam bernegara bukanlah tanpa sebab tetapi dipengaruhi oleh ragam faktor. Misalnya faktor disfungsi kepemimpinan, penghancuran kebudayaan, pelemahan identitas kebangsaan, akulturasi penduduk yang militeristik, neokolonialisasi, reproduksi kejumudan dan kejahiliyahan.
Dalam sejarahnya, transformasi negatif selalu melibatkan penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan; agama; ideologi dan gerakan sosial. Ia sirkular, simultan, sistemik dan kosmik.
Karenanya ia hadir di mana saja dan kapan saja serta oleh siapa saja. Banyak aturan yang saling bertabrakan satu sama lain; tidak punya karakter; hobinya kekerasan, kepalsuan, dan tindak kejahatan yang menjadi santapan sehari-hari.
Kesucian, intelektualisme dan akhlak baik, merosot drastis; ego sektoral merajalela; hidup demi gairah dan nafsu birahi semata; kebohongan akan digunakan untuk mencari nafkah; orang terpelajar kelihatan lucu dan aneh; orang kaya yang akan berkuasa.; banyak perubahan tak diinginkan yang akan terjadi.
Inilah peradaban yang membalik fase spiritual dari: Arupa (ilahiah) menuju arupadatu (nalar), menjadi rupadatu (kebendaan) dan berakhir di kamadatu (nafsu). Akibatnya, kini jadi peradaban yang minus nalar surplus doa; minus kejujuran surplus kepalsuan.
Maka, takdir kita kini dalam bernegara hanya merasa ada negara Indonesia saat bayar pajak. Selebihnya paria. Kenapa paria? Mari kita jujur saja. Ada sepuluh karakter utama yang membuat sebuah negara disebut sebagai tuna negara (failed state).
Pertama, negaramu tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melindungi warga negaranya dari kekerasan dan bahkan kehancuran ekopolnya.
Kedua, negaramu tidak mampu mempertahankan hak-hak warga negaranya, baik di tanah airnya sendiri, apalagi di luar negeri.
Ketiga, negaramu tidak mampu menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi-institusi demokrasi subtantif karena sibuk prosedur saja.
Keempat, negaramu gagal melindungi warganya dari kerusakan lingkungan.
Kelima, negaramu gagal paham dan tak antisipatif pada penjajahan modern serta pemanasan global.
Keenam, negaramu membiarkan negara tetangga yang memusuhimu.
Ketujuh, negaramu mulai kehilangan dukungan dan kebanggaan dari warganya.
Kedelapan, negaramu gagal menghadirkan lembaga politik, ekonomi, sosial dan budaya sebagai pemecah persoalan warganya.
Kesembilan, negaramu tak mampu memproduksi aparatur yang melayani dan memfasilitasi kreatifitas warganya.
Kesepuluh, negaramu tak bisa menghadirkan calon-calon pemimpin terbaik karena calon-calon yang ada hanya wakil dari oligarki dan kartel yang bermadzab kleptokratis dan oligarkis.
Apa simpulannya kini? Hanya warga negara tolol yang taat bayar pajak. Hanya negara jahat yang bisanya menaikkan pajak. Hanya pemimpin dungu yang bahagia hidup di negara jahat. Ketololan, kejahatan dan kedunguan kini menjadi potret segitiga setan yang merepresentasikan tuna negara. Ia datang tanpa diundang, pergi tanpa pamit. Adanya tiada. Tiadanya ada (untuk memeras warga).
Kini kita semua (tanpa pandang bulu) hidup dakam Republik Darurat Nasional. Negara yang lahir akibat transformasi negatif. Negara yang dihuni pemimpin palsu dan pandito palsu. Jika dulu para spiritualis menggunakan terminologi great transformation untuk menggambarkan perubahan besar dari zaman batu ke pembuat batu (dari mitos ke logos), kini kita hidup sebaliknya (negative transformation--dari logos ke mitos): menyembah batu sambil mengingkari penciptanya.(*)
Copas zuraidbima.blogspot.co.id 2018