Tengah hari ini, panas semakin terik. Apalagi dengan pakaian yang kukenakan saat ini. Pakaian dinas berwarna khaki yang tentu saja dengan kondisi kain lebih tebal dan tidak menyerap keringat. Kipas yang berputar pun tidak mengurangi rasa panas yang melanda. Dengan perut berkeriuk karena tak sempat sarapan tadi pagi membuat rasa marahku semakin memuncak.
“Bu Tin, tadi Deva ketahuan loncat pagar belakang. Biasa, sepertinya dia mau nongkrong di warung belakang sekolah.” Bu Nani sebagai Guru BK menjelaskan ulah Deva kali ini.
“Deva, sepertinya Ibu tidak tahu lagi harus bicara apa. Kenapa, sih, kamu tidak kapok-kapok juga!” sambil menatapnya kuperhatikan wajah anak ini. Orang tidak akan menyangka bahwa dia siswa bermasalah. Tampang anak ini secara fisik menarik. Tubuhnya tinggi, tentu saja menunjang hobbynya di olah raga basket. Hidungnya mancung dengan alis yang tebal, kulitnya bersih kecoklatan. Matanya agak sipit, dengan bulu mata agak lentik seperti perempuan. Dia memang menjadi rebutan para siswa perempuan. Dari segi akademik sebetulnya dia lumayan bagus, hanya perlu banyak latihan. Tapi ketidaksukaannya terhadap peraturan sekolah membuat kami kewalahan.
“Ayahmu sudah kembali apa belum ?” tanyaku dengan nada lebih pelan.
“Belum, Bu. Nanti hari Minggu baru pulang.” Jawabnya pelan.
“Ya, sudah, kalau begitu. Bu Nani, bagaimana nih, dikasih sanksi apa?” kucoba mengalihkan pertanyaan pada guru BK.
“Sampai bingung saya, Bu Tin, mau kasih sanksi apa lagi. Bu Tin aja, deh, sekarang yang kasih sanksi. Nanti kalau ayahnya pulang, baru kita panggil lagi ke sekolah. Saya serahkan ke Bu Tin aja, ya, masih ada orang tua siswa di ruangan saya.” Bu Nani pun pamit menuju ruangannya kembali.
“Dev, setelah istirahat kamu masuk kelas, ya. Pulang sekolah kamu mengahadap ibu lagi !” sambil melangkah menuju ruang guru. Sudah terbayang di kepalaku makan siang yang diantar ke meja dengan segelas es teh manis. Membuatku semakin tergesa berjalan.
“Baik, Bu! Maafkan saya, ya, Bu !” ujarnya sambil menyalami dan menyentuhkan keningnya pada lenganku.
Kutarik nafas dalam-dalam. Lalu duduk di kubikel tempat dudukku. Meja ini memang tidak pernah terlihat rapi. Ada saja buku-buku yang menumpuk sebagai bahan bacaan atau bahan koreksian. Di bawah meja pun beberapa boks berisi buku memenuhi lahan tempatku menyelonjorkan kaki. Sambil menyeruput es teh manis dan makan dengan pelan-pelan, aku memikirkan sanksi yang mungkin dapat membuatnya jera. Tiba-tiba saja aku teringat teman SMA yang bekerja di sebuah instansi pemerintah di ibu kota, langsung saja ku telefon dia. Kujelaskan maksud dan tujuanku. Dia pun memahami semuanya.
Saat pulang sekolah, Deva kembali menghadapku. Aku langsung mengajaknya pergi dengan menggunakan sepeda motornya. Tak lupa aku pinjam helm ke teman yang rumahnya dekat dengan sekolah. Untung saja hari ini aku menggunakan celana panjang sehingga tidak terlalu repot saat naik motor, apalagi motor Megapro yang tentu saja agak tinggi.
“Kamu sudah punya SIM, kan, Dev ?” tanyaku saat duduk di bocengannya.
“Sudah, dong, Bu. Kan saya sudah 17 tahun lebih.” Jawabnya dengan singkat, “Sebetulnya kita mau ke mana, sih, Bu?” sambil melirikku dari kaca spion. Terlihat wajahnya agak sumringah, dengan senyum agak jahil, “Kita pergi nonton aja, yuk, Bu ! Saya yang traktir !” sambil tertawa dia berkata.
“Kamu ini, kita pergi ke LP Cipinang !” sambil menepuk pundaknya. Mendengar perkataanku, sontak saja dia langsung mengerem mendadak, membuatku kaget.
“Ibu mau memasukkanku ke penjara ?” tanyanya sambil menoleh dan terlihat wajah pucat tak terkira. Melihatnya, aku hanya tersenyum.
“Ibu mengajakmu menemui teman Ibu di sana. Dia salah satu petugas LP. Tapi kalau kamu mau nginap di sana juga gak apa-apa, biar Ibu gak pusing ngurusin masalah kamu. Ayo, jalan, segitu aja kaget. Katanya jagoan !” Dia mengendarai motornya kembali sambil tersenyum malu.
“Ibu bikin kaget saja. Saya pikir akan dijebloskan ke penjara !” gerutunya.
Dia mulai memacu motornya dengan liukan yang ahli. Karuan saja ketika lajunya semakin cepat, aku mencubit pinggangnya. Dia pun memelankan kembali kecepatannya. Sore ini kepadatan jalan raya Bekasi menuju Jatinegara sudah pasti membuat pengendara putus asa. Apalagi para pengendara mobil yang tiada henti menyalakan klakson ketika para pengendara motor dengan seenaknya menyalip di sela-sela padatnya kendaraan.
Akhirnya, tiba juga kami di lembaga ini. Lembaga tempat menampung para narapidana kelas satu. Bangunan megah dengan cat berwarna abu-abu, pagar tinggi dan kawat berduri mengelilingi lapas. Kami berjalan menuju gerbang dan disambut oleh penjaga lapas. Kulirik Deva yang melangkah di sampingku yang tampak ragu-ragu. Tinggi tubuhku hanya sampai bahunya sehingga aku harus menengadah untuk menatapnya. Kutarik lengannya menemui penjaga. Berbicara dengan mereka dan menjelaskan urusanku, kami pun dipersilakan masuk ke sebuah ruang tempat temanku menunggu. Dia menyambut kami, saling bertukar kabar karena memang sudah lama kami tak bertemu. Setelah istirahat sejenak, kami diajak berkeliling.
Temanku bercerita tentang sejarah lapas yang dibangun sejak pemerintah Kolonial Belanda untuk memenjarakan para pemimpin bangsa kala itu. Salah satunya Muhammad Hatta seorang tokoh nasionalis yang pernah dipenjarakan di lapas ini. Pada periode Presiden Soekarno pun, novelis kenamaan Indonesia Pramudya Ananta Toer pun pernah menginap karena pernah mengkritik kebijakan Presiden. Bahkan, pada era Presiden Soeharto banyak aktivis politik seperti Xanana Gusmao, Asep Suryaman, Sri Bintang Pamungkas, dan pemimpin buruh saat itu Muchtar Pakpahan, pernah merasakan indahnya lapas Cipinang. Sambil berkeliling, dia menunjukan bagian-bagian lapas yang penuh dengan napi. Ada beberapa blok yang penjagaannya sangat ketat karena berisi para napi dengan istilah high risk, para pembunuh dan gembong narkoba. Dari bagian jeruji luar, Deva dipersilakan untuk mengintip kegiatan mereka. Menatap para napi dengan label pembunuh, membuat Deva mengerut ngeri. Apalagi melihat fisik mereka yang penuh tato dengan muka sangar dan mata memerah sambil tertawa melihat kami menampakan seringaian dengan gigi kuning membuat kami ngeri. Deva langsung mengajakku pergi. Temanku mengedipkan mata dan tersenyum padaku. Rupanya melihat mereka membuat Deva ketakutan. Kami berkeliling lagi ke bagian-bagian yang tidak terlalu menakutkan. Seperti tempat-tempat pelatihan dan dapur umum. Di sana kami meminta Deva untuk berbicara dengan para petugas dapur umum yang ternyata beberapa dari mereka merupakan napi-napi yang tidak berbahaya.
Setelah pamit dan mengucapkan terima kasih, kami pun melangkah pulang. Sejak mulai perjalanan kembali ke Bekasi, Deva tampak terdiam. Aku hanya berharap dia dapat menemukan manfaat dari kunjungan tadi. Sampailah aku di rumah mungil ini, Deva langsung pamit pulang.
***
Pagi yang cerah, kehadiranku pagi ini di sekolah disambut riuhan celoteh para siswa yang berjalan dari gerbang depan. Mereka menyalamiku sambil menyapa. Tersenyum menatap mata mereka yang penuh harapan. Tiba-tiba dari belakangku seorang siswa menyapa dengan riang.
“Selamat pagi, Bu Tin!” kutatap dia, Deva, dengan penuh takjub. Suatu perubahan yang luar biasa ketika dia bisa hadir jauh sebelum bel berbunyi. Biasanya dia hadir setelah bel berbunyi dengan muka yang masih mengantuk. Dia menyalamiku takzim kemudian lari mengejar teman-temannya. Lalu kembali menoleh padaku sambil tersenyum.
Saat istirahat pertama, dia menemuiku di ruang guru menyerahkan buku tugas bersampul hijau.
“Ini tugas-tugas Deva yang belum dikumpulkan kemarin-kemarin. Deva mohon maaf, ya, Bu, selalu merepotkan Ibu. Tugas pelajaran lain sedang Deva selesaikan.” Aku kembali tediam dengan perubahannya yang tiba-tiba. Tentu saja ada perasaan bahagia melihatnya begitu tenang, penuh harapan. Wajahnya tampak bersih. Aku hanya mengangguk dan tersenyum dengan mata berkaca. Dia pun berlalu, kusimpan buku bersampul hijau itu untuk kuperiksa usai mengajar sore nanti.
Pukul empat sore ini, aku masih belum beranjak pulang. Sebagai seorang guru yang masih single, aku masih memiliki waktu untuk menyelesaikan koreksian hasil ulangan tadi siang. Para siswa sudah pulang sejak bel berbunyi pukul 15.10 tadi. Tiba-tiba aku teringat dengan buku bersampul hijau yang diserahkan Deva. Kubuka dan kunilai satu demi satu. Di bagian tengah terselip sepucuk surat berwarna biru dengan tulisan bahwa surat itu ditujukan padaku. Dengan penuh penasaran kubaca surat itu sampai tuntas. Terkejut, bingung, bercampur aduk semua perasaanku. Tiba-tiba suara ponsel menyadarkanku. Nomor yang tidak kukenal, namun tetap aku angkat. Kabar itu membuatku semakin terkejut. Kupanggil rekan kerjaku untuk langsung pergi tanpa menghiraukan semuanya.
Di sana, kami dipersilakan masuk menuju IGD. Dengan berurai air mata kutatap dia, Deva terbaring kaku dengan darah mengucur dari telinganya. Meninggal di tempat, itu yang kudapat dari suster. Kecelakaan tunggal untuk menghindari anak kecil yang sedang menyebrang. Motornya menabrak tembok beton. Pendarahan di kepala. Dengan lunglai aku dipapah rekanku menuju kursi. Terduduk dengan isak dan sesak di dada. Teringat kembali sepucuk surat dalam buku bersampul hijau yang tadi aku baca! Ya, Tuhan, kembali kuterisak mengingat sosoknya, senyumnya, ulahnya, dan perasaannya!
Dear Bu Tin, maaf Deva lancang sekali menulis surat untuk Ibu. Deva hanya ingin mengucapkan terima kasih karena Ibu telah membuat Deva mengerti tentang hidup. Bahwa semua itu memerlukan perjuangan. Jika tak siap berjuang, maka kita akan tergilas. Dan mungkin saja jika Deva salah jalan, Deva akan berakhir di lapas yang kemarin kita kunjungi. Terima kasih banyak, ya, Bu. Sebetulnya butuh keberanian besar buat Deva bicara dengan Ibu. Perasaan Deva terhadap Ibu melebihi perasaan murid pada gurunya. Meski usia kita terpaut jauh, bagi Deva perbedaan 8 tahun bukanlah halangan. Ibu marah atau tidak menganggap perasaan Deva pun tidak apa-apa, yang penting Deva mengungkapkan perasaan Deva karena esok atau lusa mungkin Deva tidak berani menyampaikannya. Sekali lagi Deva mohon maaf dan terima kasih atas bimbingan Ibu selama ini.