Mataram, 24 Juli 2018
ALIMURRAHMAN (Alumni SMPN 1 Sape - 1989) |
*The journey of my live*
Dan layarpun dikibarkan, menuju tanah Jawa, yang asing, baru dan tidak terbaca oleh pikiran polos anak desa. Di Jogjakarta saya bertemu dengan teman teman semasa SMA yang sudah duluan kuliah.
Rasanya kehidupan itu bersambung lagi, melewati zaman yang menantang dan aroma kampus yang menggelegar. Maka aku mendaftar di IKIP Jogjakarta dan IKIP Makassar, dengan pilihan jurusan bahasa Jerman.
Aku sangat ingin kuliah di Jogjakarta, tinggal disana dan meikmati iklim Jogjakarta yang edukatif saat itu, tapi takdir Allah berkata lain. Aku justru lulus di IKIP Makassar, kota baru yang aku mengenalnya hanya dari buku sejarah, yaitu kisah para raja dan sultan.
Sebelum meninggalkan Jogjakarta aku sempat mendaftarkan diri jadi relawan jihad di Bosnia. Saat itu perang Bosnia vs Serbia berkecamuk. Takdir Allah tidak dikirim karena ditutupnya perbatasan untuk menghadang perlawanan mujahidin muslim. Dan setelah itu aku berlayar ke makassar, tujuan baru yg asing, dan penuh misteri.
Maka pada tahun 1993 aku menjadi mahasiswa Makassar, di universitas Makassar, jurusan bahasa Jerman. Kota Makassar ternyata menjadi kampung baru bagiku, kota yang panas, keras dan penuh tantangan. Menjadi mahasiswa makassar ternyata menjadikan rasa percaya diri yang tinggi, heroik dan kritis.
Krisis politik tahun 1996 dan gejolak demonstrasi mahasiswa telah merubah jiwa dan pikiranku hingga aku larut dalam gejolak gejolak demonstrasi jalanan yang tak terarah. Tahun 1998 orde baru tumbang, dan kehidupan ekonomi mulai menjepit. Krisis itu membuat semua impian berangsur roboh.
Dan akupun diwisuda di masa krisis moneter yaitu di tahun 1998 juga. Kehidupan di makassar terus berlanjut hingga tahun 2000 dan tahun 2000 itupun aku memutuskan meninggalkan kota sejarah yang telah membentuk jati diriku. Maka kehidupan baru yang asing dimulai lagi. Menyandang gelar sarjana tetapi pengangguran adalah beban baru yg lebih berat lg. Dua bulan menganggur di Sape, asing, terkungkung dan jiwa selalu memberontak, maka aku putuskan pengembaraan lagi ke Jakarta ditahun 2000.
Kota metropolitan, kota negara yang penuh hiruk pikuk. Di Jakarta cuman 8 (delapan) bulan, tidak cocok dan jiwa ini mengembara lagi ke Jogjakarta . Di Jogjakarta juga cuman 2 (dua) bulan. Kenangan Jogjakarta tahun 1993 dulu ternyata tidak berulang di tahun 2000. Pengembaraan ini terus berjalan, dan keputusan terakhir hijrah ke pulau Lombok.
Lombok , pulau turis, pantai, laut dan pegunungan, maka untuk menyambung hidup, aku menjadi guide lagi. Modal bahasa jerman dari kampus menjadikan aku gembala turis, kehidupan ini lebih asing lagi. Dalam otak hanya uang . Aku tidak ingin berlama lama jadi guide, tetapi takdir Allah tetap saja ekonomi memaksa aku berinteraksi dengan lahan pariwisata ini. Dan Allah menjawab do'a do'a, hingga tahun 2006 aku mendaftar CPNS guru. Alhamdulillah Allah meluluskan aku di tahun itu. Maka serta merta aku meninggalkan senggigi, gili trawangan, dll.
Maka pada tahun 1993 aku menjadi mahasiswa Makassar, di universitas Makassar, jurusan bahasa Jerman. Kota Makassar ternyata menjadi kampung baru bagiku, kota yang panas, keras dan penuh tantangan. Menjadi mahasiswa makassar ternyata menjadikan rasa percaya diri yang tinggi, heroik dan kritis.
Krisis politik tahun 1996 dan gejolak demonstrasi mahasiswa telah merubah jiwa dan pikiranku hingga aku larut dalam gejolak gejolak demonstrasi jalanan yang tak terarah. Tahun 1998 orde baru tumbang, dan kehidupan ekonomi mulai menjepit. Krisis itu membuat semua impian berangsur roboh.
Dan akupun diwisuda di masa krisis moneter yaitu di tahun 1998 juga. Kehidupan di makassar terus berlanjut hingga tahun 2000 dan tahun 2000 itupun aku memutuskan meninggalkan kota sejarah yang telah membentuk jati diriku. Maka kehidupan baru yang asing dimulai lagi. Menyandang gelar sarjana tetapi pengangguran adalah beban baru yg lebih berat lg. Dua bulan menganggur di Sape, asing, terkungkung dan jiwa selalu memberontak, maka aku putuskan pengembaraan lagi ke Jakarta ditahun 2000.
Kota metropolitan, kota negara yang penuh hiruk pikuk. Di Jakarta cuman 8 (delapan) bulan, tidak cocok dan jiwa ini mengembara lagi ke Jogjakarta . Di Jogjakarta juga cuman 2 (dua) bulan. Kenangan Jogjakarta tahun 1993 dulu ternyata tidak berulang di tahun 2000. Pengembaraan ini terus berjalan, dan keputusan terakhir hijrah ke pulau Lombok.
Lombok , pulau turis, pantai, laut dan pegunungan, maka untuk menyambung hidup, aku menjadi guide lagi. Modal bahasa jerman dari kampus menjadikan aku gembala turis, kehidupan ini lebih asing lagi. Dalam otak hanya uang . Aku tidak ingin berlama lama jadi guide, tetapi takdir Allah tetap saja ekonomi memaksa aku berinteraksi dengan lahan pariwisata ini. Dan Allah menjawab do'a do'a, hingga tahun 2006 aku mendaftar CPNS guru. Alhamdulillah Allah meluluskan aku di tahun itu. Maka serta merta aku meninggalkan senggigi, gili trawangan, dll.
Sekarang aku menjadi guru, memegang spidol dan pulpen, guru bahasa Jerman. Selain itu aku aktif di kajian kajian ilmiah alquran dan hadist dengan pemahaman para salafulummah. Juga memanah....
Abu Muzhaffar Bang Ali Bimawy
(Lombok, juli 2018)