Oleh :
  Nama: Salami Ami
Tempat tlg lahir : 28 Agustus 1970
Alamat : Jln. Danau tempe F3B/ No. 6 Sawojajar. Malang
Alamat email Facebook : amisalami93@yahoo.com HP. 081233760063
 Riwayat Pendidikan :
Thn 1983 lulusSD
Mata 
Fahrie menatap buliran-buliran rintik hujan dibalik kaca jendela ruang 
bersalin tempat  istrinya Farida dirawat setelah baru saja melahirkan 2 
jam yang lalu. Samar-samar dia teringat sesuatu. Dia berusaha keras 
mengingat potongan-potongan memori yang dialami sepanjang perjalanan 
hidupnya.
Memori itu mulai tersusun dalam benak pikirannya. Mulai 
dia  mengenal kekasihnya sebelum dengan  Farida, hampir empat tahun dia 
merajut kisah asmara bersamanya, tinggal satu langkah lagi mereka 
memasuki jenjang pernikahan. Tapi sayang mereka tidak berjodoh, tak tahu
 apa sebabnya kekasih Fahrie meninggalkanya begitu saja dan menikah 
dengan lelaki lain.
Sejak itu Fahrie patah hati, dia mulai 
mengenal dunia yang lain sebagai pelampiasannya. Hidupnya berubah sangat
 drastis, dan sebagai pelampiasan atas kekesalan pada nasibnya, dia suka
 mempermainkan hati wanita yang dia kehendaki. Beberapa wanita bertekuk 
lutut terhadap rayuannya. 
Dan setelah dia mendapatkannya,  lalu 
dia tinggalkan begitu saja. Saat itu hidupnya kacau dari satu wanita ke 
wanita yang lainya, dan rata-rata mereka cantik secara fisiknya. 
Hingga
 suatu hari dia menemukan titik balik jalan kearah yang benar setelah 
berjumpa dengan seseorang yang bisa menuntun jalan hidupnya, dia seorang
 mantan preman yang telah tobat dan menjadi seorang ustad. Kisah 
hidupnya lebih parah dari Fahrie, kemudian mereka berteman dan sejak itu
 Fahrie mulai belajar sedikit demi sedikit tentang agama darinya. 
Alhamdulillah
 Fahrie diberi petunjuk sama Allah melalui dia, Ustad Zulkarnain 
namanya. Kemudia Fahrie bertemu dengan teman kecilnya yaitu Farida. 
Mereka saling mengenal karena mereka bertetangga. Dan juga sejak kecil  
mereka sering main bersama.
Fahrie jatuh cinta padanya ketika 
Farida umur 25 tahun dan Fahrie umur 30 tahun, dan gayung pun bersambut,
 Farida juga mencintainya. Tak terbayang oleh mereka kalau mereka 
berjodoh dan menjadi kekasih hati terajut oleh untaian tali pernikahan.
Jujur
 Fahrie mengakui Farida tidak terlalu cantik, juga bukan keturunan orang
 berpangkat, bangsawan atau pun ningrat. Dia tidak perduli, raga yang 
terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akherat itu yang 
dia inginkan, terlebih terpoles ilmu syar'i. Maka tekadnya pun bulat 
untuk meminang Farida saat itu.
Maka keinginan Fahrie, ia 
sampaikan pada kedua orang tuanya. Sempat kedua orang tua Fahrie tidak 
merestui hubungan mereka. Faktor klise yang mendasarinya. Karena orang 
tua Fahrie tergolong orang berada, sedangkan orang tua Farida orang 
biasa saja.
Fahrie tak patah semangat dia tetap berusaha memberi 
pengertian kepada kedua orang tuanya. Dan akhirnya hati kedua orang tua 
Fahrie pun luluh, karena kesederhanaan yang dimiliki Farida.
Hari 
bahagia yang ditunggu-tunggu pun datang, pernikahan sederhana digelar di
 rumah  Farida. Terbitlah kebahagian yang mereka tunggu menyelimuti 
sanubari. Telah tiba saatnya biduk rumah tangga yang harus berlayar di 
samudra kehidupan terhempas sudah karang-karang penantian yang 
bertengger di taman hati mereka.
Dan malam yang penuh kebahagian, 
masih terbayang dipelupuk mata Fahrie, ketika dia menatap wajah Farida, 
matanya fokus memandang bola mata bening milik Farida dan sang pemilik 
pun membalasnya dengan senyuman. Beberapa detik mereka merasakan getaran
 yang sama yang berkecamuk didalam hati. Dan buliran-buliran air mata 
haru pun jatuh membasahi kedua pipi mereka.
Semenjak menikah 
hingga saat ini mereka memutuskan untuk hidup mandiri, dan memulai biduk
 rumah tangganya dari nol. Dengan restu orang tua, dan berbekal 
ketrampilan Fahrie sebagai seorang penulis, maka mereka memulai 
perjalanan rumah tangganya dengan kalimat Hamdalah, mereka hidup di 
kontrakan rumah yang ukurannya tidak terlalu besar, cuma ada ruang tamu,
 kamar tidur dengan sebuah ranjang usang dan beralaskan kasur tipis, 
disetiap detik perjalanan hidup mereka, dinikmati dengan penuh 
kebahagiaan
Walaupun penghasilan suaminya tergolong paspasan 
bahkan antara pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang, mereka pun harus
 hidup hemat,  mengikis keinginan karena tidak sanggup menggapainya. 
Benar-benar tak pernah melihat kristas bening yang menetes dari pelupuk 
mata Farida karena hal itu.
Dia wanita sederhana yang pintar, tak 
banyak bicara,  kesederhanaan dan kedewasaan yang diperagakan justru 
mengusik hati Fahrie, tak bisa dia pungkiri dan tutupi, dia mencintai 
Farida. Tak terasa tetes bening air mata bak kristas menetes membasahi 
kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengan kedua tangannya.
"Abi… dimana anak kita?''
 
Tersentak
 Fahrie mendengarnya, dia tahu kalau seharian tadi Farida tidak makan 
karena kesakitan sejak kemarin dan ketika dia tawarkan sepotong roti 
Farida tidak mau karena rasa sakit yang diderita menyebabkan hilang 
nafsu makannya. Tapi ketika terbangun dari rasa letih, bukan rasa lapar 
yang didahulukannya,  tapi buah hati yang ia tanyakan.
Bayi yang 
menjadi permata hati mereka lahir dengan selamat dan nampak sehat, 
membuat rasa lapar dan dahaganya hilang seketika. Dengan begitu 
perhatiannya, Fahrie menyuguhkan segelas air putih, dia berharap agar 
kemesraan yang terjalin dan barangkali letih yang diderita istrinya akan
 segera terkikis.
Sepotong roti yang Fahrie tawarkan tadi kepada 
istrinya telah habis ia makan, karena Farida tak nafsu makan tadi. Saat 
ini hari sudah malam, tidak ada toko atau warung yang menjual makan . 
Segelas air putih pun dia teguk perlahan tanpa ada keluhan atau 
tuntutan.
Setelah minum satu gelas air putih, Farida lemas 
tertidur, wajahnya pucat pasi. Fahrie terlihat sangat bingung, 
dibangunkan tubuh istrinya yang tidak berdaya, tetap saja tak terbangun,
 maka dia pun mulai panik, dipanggilnya bidan dan suster yang ada di 
rumah sakit itu, maka kepanikanpun terjadi  di ruang kamar Farida, dia 
mengalami pendarahan setelah habis melahirkan, HBnya turun dan sangat 
rendah. Jika tak tertolong maka nyawanya terancam.
Kondisi Farida 
semakin parah, sudah 2 hari dia dalam kondisi tak sadarkan diri. 
Transfusi darah sudah dilakukan, dokter pun sudah berusaha menolongnya, 
tapi hasilnya belum maksimal. Kiranya Allah masih menguji umatnya, kini 
tubuhnya terbaring lemas tak berdaya, Fahrie sedikit pun tak beranjak 
duduk disamping tempat tidurnya, dia genggam tangan Farida dan 
berkata."Dinda, satu pinta yang aku mohon kepada Allah disetiap sujud 
dan tarikan nafasku, ku mohon janganlah kau tinggalkan aku.''
Kembali
 air mata bening bak kristal jatuh di kedua pipinya dengan penuh 
kesedihan. Tak terasa air mata itu jatuh menelusuri lembah hidungnya 
kemudian tetesan terakhirnya jatuh di kening istrinya Farida.
Satu
 keajaiban walaupun Farida dalam kondisi koma hatinya bisa merasakan 
kesedihan yang sedang dialami suaminya Fahrie, kedua mata yang terpejam 
sejak 2 hari yang lalu kini mengeluarkan air mata yang bening penuh 
kesedihan. Fahrie melihat perubahan membaik pada kondisi Farida, dia 
senang.
"Dinda, bangunlah. Anak kita masih membutuhkan kita, mari 
kita merajut hari bersama. Kita masih punya cita cita, membuat permadani
 cinta bersama, untuk mewujudkan impian kita."
 
Air mata  haru Farida 
semakin deras meleleh di kedua pipinya, mendengar ucapan suaminya. 
Mulutnya terkunci rapat oleh kondisi kesehatannya