Oleh :
Nama: Salami Ami
Tempat tlg lahir : 28 Agustus 1970
Alamat : Jln. Danau tempe F3B/ No. 6 Sawojajar. Malang
Alamat email Facebook : amisalami93@yahoo.com HP. 081233760063
Alamat : Jln. Danau tempe F3B/ No. 6 Sawojajar. Malang
Alamat email Facebook : amisalami93@yahoo.com HP. 081233760063
Riwayat Pendidikan :
Thn 1983 lulusSD
Thn 1986 lulusSMP
Thn 1989 lulus SPG.
Ifa terbangun dari tidurnya. Jam
diding di kamarnya menunjukkan angka sebelas. Baru jam sebelas malam
ternyata. Dia turun dari ranjang, dengan mata yang masih mengantuk
langkah kakinya menujuh teras depan rumah. Sepasang mata yang masih
berusaha melihat di sekeliling teras. Suaminya mas Alif masih berada di
sana. Duduk di kusri bambu dan begitu asik mengutak-atik ponsel, seperti
biasa Ifa mendekatinya.
Malam itu terasa aneh , tingkah mas Alif di
depan Ifa. Tidak seperti biasanya. Dia begitu gelisah ketika Ifa berada
disampingnya. Ponsel yang dia pegang pun langsung dia sembunyikan
seketika. Ifa berusaha menanyakan sesuatu pada suaminya. Tapi dia tidak
menemukan jawabannya.
Sepenggal bulan sabit bersinar redup di temani
bintang-bintang di langit yang Maha luas. Ifa menatap langit yang
membisu dengan perasaan gundah–gulana. Ingin rasanya dia bertanya pada
langit yang membisu tentang suaminya.
Mas Alif masih saja diam ysng
masih duduk di kusri bambu. Ifa pun masuk ke dalam rumah, langkah
kakinya berhenti di depan kaca jendela. Dia menatap wajah suaminya dari
balik kaca jendela. Raut wajahnya begiru aneh, sebentar dia tersenyum,
sebentar dia tertawa, dan sebentar pun dia terlihat begitu sedih.
Ponselnya masih berada di tangannya , dia terus saja memandangi ponsel
tersebut. Malam itu Ifa beranjak tidur dengan perasaan gelisah.
Feelingnya sebagai istri menyatakan telah terjadi sesuatu dengan
suaminya.
Waktu berganti bagaikan hembusan angin kencang yang tanpa
kompromi pada manusia. Sikap mas Alif suami Ifa, semakin hari semakin
berubah. Emosi yang ada begitu muda menempel pada dirinya. Kemarahan
yang tidak jelas , sering dia lontarkan pada istrinya. Ketika itu Ifa
tak sengaja membaca sebuah sms dari seorang wanita untuk suaminya. Sms
itu begitu mesra kata-katanya, hingga membuat api cemburu yang ada di
hati Ifa terbakar hingga tak tertahan lagi panasnya. Kata-kata
istigfarlah yang keluar dari mulut Ifa. ‘’Astagfirallah al azim, aku
harus sabar dan tidak boleh terpancing dengan sesuatu yang belum jelas
apa maksudnya.’’ Inilah yang ada di pikiran Ifa saat itu.
Udara
kering musim kemarau mengiringi langkah kaki Ifa menujuh tempat
kerjanya. Udara yang dingin pagi itu seakan menembus kulitnya, akan
tetapi bukannya udara yang dingin ini yang ia rasakan namun sikap Mas
Alif lah yang ia rasakan melebihi dinginnya udara pagi ini. Ifa berjalan
dengan pikiran kosong seakan tanpa tujuan . Matanya terasa begitu berat
menahan rasa kantuk yang ia tahan, semalam dia tidur hanya beberapa
jam. Pikiran yang ada di benaknya saat ini berputar- putar merekam sikap
suaminya yang berubah beberapa minggu ini. Sambil berjalan hanya itu
yang ada di dalam pikirannya. Dia tak sanggup lagi berpikir kearah lain
bahkan terhadap pekerjaannya sekalipun.
Senja hari di bukit asmara
Awan tipis menari-nari di atas langit
Matahari berparas jingga merona
Sepasang burung dara terbang bersama kekasihnya
Melintas di atas bukit asmara.
Kulihat banyanganmu diantaranya.
Tersenyum tipis tanda kerinduan yang mengoda
Akankah kerinduan menjadi nyata….. aku tak tahu maknanya….
Sebait
puisi yang dia baca dari ponsel suaminya. Yang jelas ditujukan bukan
untuknya. Ada luka di hati yang terasa begitu pedih. Dadanya terasa
sesak menerima kenyataan pahit yang harus dia telan. Madu cinta yang
terasa manis selama delapan belas tahun dirasakan, kini berubah menjadi
racun yang mematikan. Jiwa mati karenanya. Nalurinya sebagai seorang
istri kini berbicara. Inilah saatnya Ifa menanyakan sebait puisi ini
untuk siapa pada suaminya. Sebisa mungkin Ifa bertanya pada suami agar
tidak menyinggung perasaannya.
“Abi, boleh Umi Tanya sesuatu.
Sebetulnya Puisi yang romantic ini untuk siapa sih ?” Pertanyaan Ifa
sedikit pun tidak membuat kecemasan pada diri Alif suami Ifa. Sepertinya
dia telah mempersiapkan sejak awal. Ini terbukti dengan sikapnya yang
begitu santai menjawab pertanyaan istrinya.
“Umi, boleh Abi bercerita
sesuatu tentang masalah lalu Abi sebelum Abi kenal sama Umi.’’ Maka
Alif pun becerita panjang lebar tentang masa lalunya dengan kekasihnya
saat dia dulu masih duduk di bangku SLTA. Perempuan yang telah mengambil
hati suaminya itu bernama Elena. Mereka berpisah selama dua puluh tiga
tahun lamanya. Dan kini mereka bertemu kembali disaat perempuan itu
telah menjadi janda dengan empat orang anak.
Kehidupan perkawinan
dengan suaminya yang dulu tidak bahagia. Dia sering curhat dengan Alif
suami Ifa kekasihnya di masa lalu. Karena kedekatannya itulah
benih-benih cinta yang dulu pernah ada kini bersemi kembali. Dan
benih-benih itu pun semakin hari semakin tumbuh subur karena kedekatan
mereka. Tak terasa benih itu kini menjadi bunga cinta yang harum
semerbak, mereka pun lupa dengan status mereka saat ini. Seperti anak
remaja yang baru mengenal cinta, itulah gabaran cinta mereka, mereka
lupa bahwa usia mereka telah senja.
Malam semakin larut, gemersik
suara dedaunan di terpah angin malam menambah kesunyian malam. Ifa masih
saja tidak percaya dengan masalah yang sedang dihadapinya, pikirannya
kembali kemasa lalu. Di saat dia hidup bahagia bersama keluarganya. Ia
sempat mencicipi manisnya madu cinta bersama suaminya selama delapan
belas tahun lama. Baginya bukan waktu yang singkat untuk saling mengerti
dengan pasangannya. Perjuangan dan pengorbanan pun dia lalui, masih
segar dalam ingatannya ketika diawal perkawinan mereka sempat selama
delapan tahun belum di kasih momongan. Saat itu suaminya begitu
menyanyanginya.
Dengan kegigihannya mereka Iftiar mencari obat untuk
mendapatkan sang buah hati tercinta. Waktu itu Ifa sempat putus asa,
dia sempat berpikir suami untuk kawin lagi agar mendapatkan keturunan.
Mengapa ketika itu dia tidak mau,dan sekarang ketika semua sudah kami
dapatkan, mengapa ini semua terjadi…. Mengapa…. ‘’Ya Allah inikah ujiamu
yang harus hamba hadapi, hambamu ini yakin kau sangat menyanyangi hamba
yang lemah ini, maka berilah hambamu ini kekuatan.’’ Satu kalimat doa
Ifa ia utarakan dalam hatinya. Tak terasa entah sudah berapa kali air
matanya menyusut tapi seolah air mata itu tak pernah kering mengalir
lagi menetes lagi.
Waktu pun terus saja meluncur bagaikan anak panah
yang mencari sasarannya. Semakin hari Alif suami Ifa semakin dekat
dengan wanita itu. Sms mersanya pun sering Ifa baca , kata-kata yang
membuat hati cemburu, dan tak ada yang berusaha memadamkanya. Sepertinya
Alif suami Ifa sengaja memancing masalah menjadi jelas ujungnya dan apa
maunya. Pertengkaran pun sering terjadi. Rajutan benang emas cinta yang
indah yang mereka rajut setelah bertahun-tahun lamanya kini telah robek
, robekan itu mulanya sedikit, lama-lama menjadi lebar hingga mereka
tidak bisa menjahitnya kembali.
Ranjang pengantin pun kini mulai
dingin dan membeku tidak ada lagi kehangatan asmara cinta mereka.
Malam-malam yang dia rasakan begitu sepi sunyi . Sikap Alif suami Ifa
begitu dingin. Tubuhnya ada di dekat istrinya tapi hatinya ada pada
wanita lain. Entah sampai kapan ini semua akan berakhir.
Malam minggu
kelabu , malam masih merangkakan menujuh keindahannya. Tapi tidak bagi
Ifa, malam minggu di bulan april itu menjadi malam yang kelabu. Suaminya
yang ia panggil Abi selama ini mengutarakan niatnya untuk mempersunting
wanita idamannya. Niat itu dia sampai kepada istrinya , dengan kata
lain dia ingin menikahi wanita itu. Hati Ifa bagaikan di iris rasa
sembilu sakitnya tak terelakan lagi. Hidup yang dia abdikan dengan
suaminya orang yang ia cintai kini pupus sudah. Cintanya kini terbagi
menjadi dua. Wanita mana yang tidak sakit hatinya. Air matanya tak
terasa jatuh membasahi kedua bela pipinya. Keputusan yang dia ambil dia
tetap tak mau di madu.
Keingin Alif suami ifa kelihatannya begitu
serius. Keputusan Ifa yang tidak mau di madu sepertinya tidak mempan.
Alif kembali mengutarakan keinginannya. Kali ini pihak keluarga besar
mereka pun ikut turun tangan menyelesaikan masalah mereka. Maka kumpulah
kedua keluarga besar mereka. Keputusan yang mereka ambil pun sama
dengan yang di inginkan oleh Ifa. Demi cucu-cucu mereka, mereka
menginginkan apa pun yang terjadi dalam rumah tangga yang selama ini
mereka bina berjalan seperti semula. Dan mereka tidak merestui keinginan
Alif selama ini yang ingin menikah lagi. Sebab tidak ada alasan yang
kuat untuk menduakan istrinya dengan wanita lain.
Maka sejak
keputusan itu Alif suami Ifa menuruti apa keingin kedua keluarga mereka,
tapi hanya fisiknya saja sedangkan hatinya ada pada wanita lain.
Semakin hari Ifa merasakan semakin jauh dengan suaminya, hidup satu atap
tapi bagaikan orang asing saja yang seolah-olah tidak mengenal satu
dengan yang lainnya. Sikap Alif pun begitu dingin terhadap istrinya.
Rumah tangga yang tadinya begitu harmonis kini terasa hampa.
“Bagaimana
aku bisa melupakan cintamu, kalau sampai saat ini aroma tubuhmu masih
tercium dibenakku, dan bagaimana aku bisa melupakan bayanganmu kalu
sampai saat ini itulah yang terlintas di benakku. Haruskah jiwa ini
berhenti bergerak hanya karena aku tidak dapat melupaka cintamu….’’
Satu
pesan singkat yang Ifa baca dari ponsel suaminya. Dari siapa lagi kalau
bukan dari wanita itu. Ingin saranya hati Ifa menjerit karena marah,
tapi tak bisa. Setiap kali banyangan suaminya tersirat di benaknya ,
hanya kalimat Istighfar yang sanggup meredam kemarahan di hatinya. Ifa
tersenyum getir memandang anak-anaknya yang masih kecil- kecil. Semua
yang ia lakukan hanya demi mereka ketiga buah hatinya yang masih belia.
Tak terasa butiran-butiran air matanya pun kini jatuh membasahi kedua
pipinya. Dia pun mengapusnya dengan hati yang penuh luka serta ketegaran
jiwa.
Kapankah semua ini akan berakhir, satu pertanyaan yang ada di
benak relung hatinya. Haruskah dia menanggung derita ini sampai akhir
hayatnya. Tubuh mereka dekat tapi hati mereka semakin hari semakin jauh
saja. Mereka seakan-akan hidup di dunia yang berbeda. Rajutan benang
emas cinta mereka semakin hari terkoyak semakin melebar hampir saja
terputus menjadi dua, kalau saja tidak ada buah hati mereka. Kini
ketiganya tidak bahagia. Cinta segitiga yang membawa mala petaka, hidup
bagaikan di dalam neraka dunia.
T A M A T
By; AMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar