(Analisis Kritis Lembaga Kepresidenan RI Dalam Perspektif Seorang Birokrat)
Oleh: Natalius Pigai
Dua hari terakhir, negeri ini heboh karena Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengangkat seorang tokoh yang kontroversial dan Politisi Yang Suka Loncat berbagai Partai yaitu Ali Mochtar Ngabalin. Apalagi dengan beberapa Judul berita yang lebih heboh diantara; Ngabalin masuk Istana Negara, Ngabalin Juru Bicara Pemerintah, Bahkan dapat arahan langsung dari Preisden.
Membaca berbagai berita tentang direkrutnya Ali Mochtar Ngabalin seakan- akan kita terhipnotis dengan jabatan yang prestisius, bergengsi, juga pengaruh dan dampak yang luar biasa. Sekali lagi karena didukung opini besar, media besar sehingga muda membangun framing seakan-akan Kelomok oposisi mulai lunak, jinak dan dijinakan karena kelihaian istana.
Tulisan ini akan membuka tabir dan cakrawala tentang apa sesungguhnya jabatan dan sebutan yang pas untuk Ali Mochtar Ngabalin di KSP.
Sebagai seorang birokrat yang malang- melintang selama 18 tahun di berbagai instansi pemerintah, sudah barang tentu tanpa diberitahu posisinya yang diemban oleh Ngabalin, saya pasti tahu meskipun hanya dengan melihat peran dan tugas yang diemban. Demikian pula tiap pejabat birokrat negeri ini pasti sudah tahu apa status dan level jabatan yang diemban oleh Ngabalin.
Sudah bukan rahasia lagi bagi birokrat bahwa tiap hari menjadi sarapan dan santapan harian gosip miring tentang melubernya orang- orang politik atau di luar ASN yang mengisi jabatan birokrat, terlebih berbagai posisi dan jabatan di lingkungan Lembaga Kepresidenan. Kecuali Kementerian Setneg dan Sekab sesuai undang-undang kementerian dan Lembaga Negara.
Jabatan Ngabalin menurut Kepala KSP Moeldoko adalah Tenaga Ahli Utama Deputi IV Bidang Komunikasi Publik. Kemudian Ngabalin adalah juru bicara pemerintah.
pemerintah ini telah 4 tahun berlangsung. Makin kesini kian tertantang untuk mencermati dinamika dan tata kelola lembaga kepresidenan.
Dilihat dari sifat lembaga KSP adalah disebut Presidetial Auxiliary body yaitu lembaga negara atau pemerintah berada yang berada di level ketiga, setelah lembaga negara (state auxiliary body) dan instansi pemerintah (goverment body). Instansi KSP dibentuk hanya secara spesifik untuk melayani dan mendukung kerja-kerja presiden maka disebut presidencial Auxiliary body. Berbeda dengan Kementerian Sekretariat Nagara dan Kementerian Sekretariat Kabinet yang masuk kategori government body atau lembaga pemerintah yang menangani tugas dan fungsi utama pemerintah sesuai amanat Undang- Undang.
Untuk mempermudah memahami maka lembaga pelaksana kebijakan negara dan pemerintah di Indonesia teridiri dari ada 3 tipologi lembaga sebagai berikut:
1. State Auxiliary bodies atau lazim disebut lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman, KPK dll. Lembaga Negara dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang.
2. Governmet Bodies atau Government Auxiliari Bodies atau Lembaga Pemerintah dan Lembaga Pemerintah Non Departemen seperti Kementerian atau BNP2TKI, BULOG, LIPI, BATAN, BPS dan lain sebagainya. juga dibentuk untuk melaksanakan amanat Undang-Undang, pembentukan berdasarkan Undang-Undang atau Keputusan Presiden.
3. Presidencial Auxiliary Body atau Lembaga yang melayani untuk mendukung kerja-kerja Presiden seperti KSP dan Unit Kerja Presiden dibentuk berdasarkan Keputusan Presisen tetapi lembaga-lembaga ini tidak melaksanakan amanat atau perintah undang-undang apapun karena khusus hanya mendukung kelancaran tugas dan kerja presiden.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, ketiga tipe atau jenis lembaga tersebut di atas harus dibantu oleh unit sekretariat yang merupakan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pegawai sekretariat terdiri dari seorang Sekretaris dan Deputi/Dirjen adalah eselon I dan kepala Biro atau asisten Deputi disebut eselon 2 dan para Pejabat struktural dan fungsional.
Sementara Kepala Lembaga adalah disebut Pejabat Negara (PN) yang merupakan Jabatan Politis bisa dipilih melalui seleksi seperti KPK, Komnas HAM dll atau Ditunjuk oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan seperti Menteri, Kepala Badan dan juga KSP. Perlu diketahui bahwa penunjukkan Pejabat Negara bukan sebagai Kepala Negara tetapi Kepala Pemerintahan yang akan melaksanakan program pemerintahannya.
Pejabat Negara bisa juga non pegawai ASN, Politisi, TNI/Polri, Profesional atau juga dari Pegawai ASN yang memenuhi syarat Kepangkatan dan Jabatan.
Pertanyaan selanjutnya siapa Pejabat Negara di Kantor Staf Presisen (KSP)?. Berdasarkan Kepres 26 Tahun 2015 tentang KSP maka Jawabannya hanya ada 1 orang Pejabat Negara yaitu Jenderal Purn Moeldoko. Kepala KSP setingkat Menteri. para Deputi termasuk Deputi IV Eko Sulistyo adalah Pejabat Eselon I yang sesuai dengan Undang-Undang diperbolehkan juga rekrut orang-orang yang berasal dari non pegawai ASN melalui pelelangan Jabatan Eselon I. Maka ketika penunjukan Eko Sulistyo sebagai Eselon I tentu secara etika birokrasi dan moralitas bertentangan karena harus melalui lelang jabatan yang diumumkan ke publik untuk mengukur sistem meritokrasi dalam birokrasi sebagaimana ketika rekrut Farid yang orang non ASN menjadi Dirjen Kebudayaan . Lain halnya dengan Ibu Dani atau Pramowardani yang merupakan pegawai ASN LIPI tentu juga dengan memenuhi standar kepangkatan dan jabatan.
Selanjutnya adalah siapa yang berhak untuk menjadi staf khusus atau pada level berapa saja yang diperbolehkan memiliki Staf Khusus sebagai Pejabat Eselon I?. Sesuai dengan undang- undang, Staf Khusus hanya diperkenan bagi Presiden dan Pejabat Negara seperti Staf Khusus Kepala KSP Moeldoko dan Para Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Depertemen (LPND) . Dan Staf Khusus Kepala KSP, Pak Moeldoko adalah Pejabat yang harus disetarakan dengan fasilitas dan honor eselon Ib sama seperti Staf Khusus Presiden/Menteri/ Kepala Badan dll.
Menjadi problem serius adalah untuk semua kementerian dan lembaga untuk level eselon I seperti Deputi tidak boleh ada staf khusus karena dia dibantu oleh eselon 2, 3, 4 dan Tenaga Fungsional. Namun untuk Kantor Staf Kepresidenan diperbolehkan berdasarkan Kepres nomor 26 tahun 2015 yaitu jabatan Profesional yang satuan administrasi pangkal dibawah Deputi. Jabatan profesional tersebut adalah Tenaga Ahli Utama (TAU). Sebuah jabatan yang tidak lazim untuk KSP. Sekedar ketahui bahwa Tenaga Ahli Utama tersebut memang boleh tetapi lebih tepat di unit kajian dan kebijakan Terapan seperti LAPAN, BATAM, Kementerian PU dan lainnya karena seorang pejabat TAU harus disertifikasi Profesi oleh lembaga sertifikasi.
Saya tidak paham Tenaga Ahli Utama di KSP memiliki sertifikat kompetensi atau tidak. Memang KSP sesuai Perpres 26 tahun 2015 diperbolehkan tetapi rekrutmennya harus melalui lelang atau pengumuman resmi. Inilah kesalahan terbesar KSP saat ini. Apalagi sistem Gaji Tenaga Ahli Utama telah ditentukan sebagai jabatan fungsional sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 58 Tahun 2010 misalnya bagi jabatan fungsional pengkajian dan penerapan teknologi. Jadi Tenaga Ahli utama cocok untuk jantan fungsional penerapan dan kajian Tenkologi bukan di KSP. Kenapa tidak pakai Penasehat Utama saja. Ko bisa pakai jabatan Tenaga Ahli Utama yang membutuhkan stadarisasi dan sertifikasi profesi.
Pertanyaannya adalah dimana posisi dan jabatan Ali Moechtar Ngabalin?. Sesuai dengan pernyataan Pak Moeldoko maka Ali Ngabalin sebagai Tenaga Ahli Utama Deputi IV yang saat ini dijabat oleh Eko Sulistyo. Dengan demikian Ngabalin tentu bukan siapa-siapa, tentu anak buah Eko Sulistyo yang sehari-hari bertugas memberi informasi hanya kepada atasannya yaitu Eko Sulistyo sesuai pasal 7 Perpres nomor 26 tahun 2015 tentang KSP. Dalam birokrasi hirarki komando tentu sudah pasti bahwa Ngabalin hanya untuk kepentingan Eko bukan ke Kepala KSP, laporan ke Kepala KSP disampaikan melalui Para Deputi dan juga Staf Khusus jd bukan Tenaga Ahli Utama. Kecuali diminta oleh Kepala KSP.
Sesuai dengan pernyataan kepala KSP Moeldoko bahwa Ngabalin di Deputi IV, maka Ngabalin dilihat dari Satuan Adminiatrasi Pangkal (SATMINKAL) adalah Staf Deputi IV sehingga sistem administrasi dan penggajian serta tugas rutin hanya melayani Eko Sulistyo sebagaimana tersebut diatas. Tugas ini secara jelas tertulis dalam Pasal 7, Perpres 26 tahun 2015 yaitu Tenaga Ahli Utama bertanggungjawab kepada Deputi. Jadi bukan kepada Kepala KSP.
Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang itulah birokrasi. Dalam
birokrasi semua nomenklatur, struktur, personalia, sistem, sarana-prasarana dan pembiayaan bersifat statis, tetap dan formal dan mengikat dan terencana.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara maka Sesuai dengan sistem Jabatan dalam undang-undang ASN tersebut, Pak Ngabalin adalah Pegawai Pemerintan non ASN yang direkrut dengan perjanjian kerja untuk masa waktu tertentu yang diswasta adalah PKWT bisa 1 tahun, bisa juga 2 tahu atau maksimal 5 tahun. Tergantung kebutuhan pejabat pemberi kerja. Dalam undang- undang ASN Pak Ngabalin adalah Pegawai Pemerintah non ASN maka disebut Pegawai Pemerintan dengan Perjanjian Kerja (PPPK), sistem rekrutmen berdasarkan undang-undang ASN juga harus diumumkan ke publik seperti penerimaan pegawai. Jangan Gede rasa dengan Sebutan jabatan profesional Tenaga Ahli Utama sebagaimana Perpres tentang KSP karena rekrutmennya tetap berdasarkan UU ASN sehingga dianggap sebagai pegawai pemerintah non ASN yang direkrut sebagai tenaga Kontrak yaitu dengan sebutan PPPK. Hanya menjadi berbeda di KSP karena Perpres 26 tahun 2015 menegaskan Tebaga Ahli Utama sebagai jabatan Profesional. Tetapi tidak boleh lupa bahwa dalam sistem administrasi adalah tenaga kontrak atau pegawai pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK).
Inilah birokrasi, sistem birokrasi adalah sistem yang baku, terus menerus dan sudah menua. Kita bukan mengelola sebuah perusahaan keluarga atau
Partai politik, kelola negara tentu harus terencana dengan kaida-kaida birokrasi. Tidak mudah memberi jabatan di birokrasi, lebih sulit otak atik soal nomenklatur lembaga dan sistem, personel dan juga pembiayaan apalagi ditengah tahun berjalan.
Saya harus jujur katakan bahwa Ali Mochtar Ngabalin bukan Pejabat Negara, Jabatannya hanya melayani Deputi IV. Ali Mochtar Ngabalin yang kawakan itu di Down grade kelasnya, tetapi hanya karena bekerja di lingkungan istana negara sehingga publik terbawah imajinasi yang begitu wao. Saya yakin Pak Ali Mochtar Ngabalin pasti akan stress karena jangankan ketemu Presiden, ketemu sekelas Pejabat Negara seperti Kepala KSP saja pasti susah. Mungkin bisa saja menjadi sahabat ngerumpi Eko Sulistyo tapi juga sulit bukan karena teman lama, bukan kawan, Chemistry juga tidak ada karena saya mengenal keduanya secara baik. Saya juga tidak yakin Deputi IV KSP Eko Sulityo punya akses bisa ketemu Presiden. Tidak muda, lebih sulit lagi Ngabalin, apalagi hanya tenaga ahli dibawah Deputi IV yg level eselon I.
Apapun ceritanya Ngabalin adalah pegawai yang dikontrak, di honor melalui sistem kontrak sebagai pegawai pemerintah non ASN yang akan terdengar luar biasa karena urusannya terkait opini publik. Tetapi Ali Mochtar Ngabalin dikasih jabatan menjadi Pegawai dihonor melalui sistem rekrutmen PPPK non PNS(ASN) di deputi IV KSP. Saya tidak akan menyalahkan Ngabalin tetapi para pemberi kerja dan penasehat yang ada yang katanya profesional dan hebat2.
Saya mengusulkan kepada Kepala KSP dan Sekab Pramono Anung tempatkan Ngabalin sebagai Staf Khusus Kepala KSP atau Staf Khusus Menteri Sekretaris Kabinet. Jangan turunkan kelas dan kapasitas (Down Graded) orang sekelas Ali Mochtar Ngabalin. Janganlah begitu! Dia, Ngabalin itu seorang Intelektual dari Timur, Alumni UI dan punya jam terbang. Ko yang lain diangkat menjadi Staf Khusus Presiden dan Staf Khusus Kepala KSP dan Mensekab tetapi Ngabalin menjadi Stafnya Eko Sulistyo? Dalam konteks birokrasi sangat rendah bangat.
Kecuali KSP menjadi Tim Sukses Presiden dengan konsekuensi KSP dibubarkan, negara tidak biayai, keluar dari lingkungan istana untuk menyiapkan kampanye Pilpres 2019. Tetapi kalau KSP masih lembaga kepresiden maka jabatan Ngabalin tentu tidak elok dibawah Deputi IV.
Bangsa ini milik kita semua, kelola negara tentu harus Profesional dan meritokrasi sistem dalam rekrutmen, jaga juga Marwa birokrasi dan wibawanya karena lembaga-lembaga ini hanya titipan dari rakyat, untuk rakyat dan milik rakyat.
Demikian Kritik Natalius Pigai, Kritikus Pengalaman di birokrasi selama 18 tahun. Lewat JAPRI WA *ZURAID BIMA 25/5/2018