PERILAKU POLITIK YANG
TEREDUKSI
Oleh: Ilham Abdul Rasul
Politik menjadi
medium untuk mengapresiasi semua kehendak dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, kehendak yang dimaksud akan selalu linear dengan sejumlah harapan
untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Dalam konteks
ke-Indonesiaan, Negara dibangun dengan tiga pilar politik atau yang dikenal
dengan politik Tripartit/ Trias politika (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif),
Trias politika merupakan sebuah konsep kenegaraan yang didasari dengan equal
spirit/ semangat keseimbangan, semangat keseimbangan itu diperlukan untuk
mengeleminasi kemungkinan terbentuknya sistem kekuasaan yang sifatnya superior,
munculnya sosok atau individu antibodi yang memiliki kekebalan hukum dan lain
lain, karena sangat disadari bahwa kekuasaan superior selalu melahirkan
pemimpin otoriter, dan pemimpin yang otoriter cenderung korup dan
sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan dalam kekuasaan berimplikasi pada
ketidakadilan dan tidak meratanya pembangunan, pelanggaran hukum sistemik dan
bangunan kejahatan ekonomi struktural, inilah yang disebut oleh kebanyakan
cendekia sebagai kejahatan sistemik yang berimplikasi pada pemiskinan rakyat
secara stuktural. Dimana rakyat tidak berkesempatan untuk mengetahui perihal
apa dan bagaimana dengan sebuah kebijakan pemerintah.
Sistem
politik yang menggunakan demokrasi sebagai domain menjadi solusi dalam upaya
menghindarkan Negara dari bahaya otoritarianisme sebab ruang
partisipasi politik rakyat semakin terbuka, pelibatan rakyat secara langsung
memberi dampak positif dalam kaitannya dengan terbukanya saluran komunikasi
langsung rakyat dengan pemimpin maupun calon pemimpin, sehingga pada sisi ini
rakyat mendapat posisi tawar (bargaining) secara politik. Ruang
rakyat membangun posisi tawar merupakan kesempatan yang baik dalam merumuskan
sejumlah agenda pembangunan jangka panjang atau dengan kata lain rakyat
berkesempatan memasukkan sejumlah harapan rakyat sebagai agenda pembangunan
Pada sisi
lain demokrasi juga memberi implikasi negatif dalam praktek politik kekinian, cara
mendefinisikan demokrasi yang parsial melahirkan dikotomi kelompok secara tajam
dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, pola asosiasi kelompok sejenis
menjadi trend baru dalam membangun konsolidasi politik, orang bahkan organisasi
politik secara tegas dan lugas mengidentifikasi diri kedalam cara pandang “inilah
kami” dengan sejumlah atribut penegas identitas semisal membangun partai politik atau kelompok
dengan ideologi kesamaan semisal agama, entitas masyarakat berdasarkan suku,
ras dan seterusnya, hal ini yang kemudian melahirkan sentimen kaku dan
melupakan agenda perubahan untuk kehidupan rakyat yang lebih berkualitas,
konflik antar suku dan agama yang makin meluas, kerusuhan antar kelompok
masyarakat, perkelahian antar desa dan seterusnya menjadi dampak yang sampai
hari ini belum dapat diurai dan diselesaikan secara sempurna, belum lagi
perilaku politisi yang cenderung memelihara kekuatan kelompok untuk menjaga
stabilitas pengaruh bahkan celakanya kelompok kekuasaan merambah sampai akar
rumput yang melibatkan rakyat buta politik yang dibentuk dan dibina dengan
doktrin loyal pimpinan, bukan atas nama kesamaan visi perjuangan,
Mainset rakyat
terhadap loyal pimpinan menjadi problem baru bagi keberlangsungan demokrasi di
indonesia, pelibatan rakyat secara kualitatif sebagaimana yang diharapkan dalam
sistem politik demokratis jauh dari harapan sebab rakyat sudah dibentuk dengan
cara pandang figuratif (pimpinan kelompoklah yang terbaik), tidak terkecuali
pemimpin itu adalah seorang preman, yang mengerti tata kelola pemerintahpun
tidak sama sekali, sehingga tidak mengherankan jika faktanya hari ini banyak
lahir pemimpin setingkat desa bahkan setingkat daerah kabupaten dan propinsi
sekalipun seorang preman yang tidak memiliki rekam jejak sosialogis terhadap
persoalan sosial kemasyarakatan, fakta politik lain yang juga tidak kalah
menariknya sebagai bahan analisa akademik adalah kecenderungan lahirnya sosok
pemimpin dan calon pemimpin instan yang terkesan memaksakan diri hanya karena
memenuhi unsur mumpuni dalam kacamata konsolidasi politik, sebut saja misalnya
dia memiliki variabel modalitas ekonomi yang memadai, memiliki latar kebesaran
nama keluarga (kakak,ayah atau kakek yang secara empirik memiliki record
positif dimata rakyat) seolah secara genetis dapat menjadi jaminan akan
kualitas seorang pemimpin, padahal tanpa disadari hal inilah yang membuat
perpolitikan Indonesia menjadi tidak sehat dan perubahan mengalami stagnasi baik
secara politik maupun secara ekonomi
Dalam
pendekatan kekuasaan, pola konsolidasi politik genetis berdampak pada lahirnya
kekuasaan absolut (kekuasaan superior) sebab konsolidasi politik genetis
menjadikan variabel kebesaran nama keluarga dan latar biologis sebagai domain
dari sisi rekrutmen calon pemimpin, sehingga tidak mengherankan jika adagium
putra mahkota sebagai pewaris tahta sangat efektif dalam konsolidasi politik
kekinian. Kelompok penguasa yang ingin mempertahankan pengaruh bahkan boleh
jadi ingin menyembunyikan sejumlah pelanggaran dalam tanda kutip selalu
mempersiapkan generasi kedua bahkan ketiga sebagai pewaris tahta kekuasaan
tanpa mengindahkan sisi proses, praktik politik dinasti mungkin itulah adagium
yang tepat bagi mereka yang tidak ingin kehilangan pengaruh, hal ini tentu saja
sangat mencederai prinsip demokrasi dimana rakyat tidak diberi ruang yang
signifikan secara politik menikmati kesempatan bersaing secara kualitatif,
banyak fakta politik dan sosiologis yang dapat menjadi cerminan semisal
penetapan calon kepala daerah dengan tangan besi kekuasaan melalui partai
politik yang sama sekali tidak mencerminkan kualifikasi diri seorang calon
pemimpin dan harus mengorbankan kader terbaik partai, lalu setumpuk alibi
dipublish sedemikian apik untuk memberi pembenaran seolah sikap yang diambil
menjadi cerminan dari kehendak bersama bahkan tidak jarang mereka menggandeng
NGO atau LSM yang secara publik dikenal sebagai lembaga independen untuk
melakukan kerja akademis sebagai penguat opini politik bahwa keputusan partai
adalah keputusan yang benar dan dapat diuji secara akademis sebut saja misalnya
menyewa lembaga survey yang tidak hanya bertugas melakukan survey tetapi juga
merangkap sebagai jasa konsultan politik perorangan.
Polarisasi
politik semacam ini telah merusak seluruh sendi kehidupan berdemokrasi, rasa
apriori dan apatis masyarakat terhadap kehidupan bernegara semakin jauh dari
harapan lihat saja angka partisipasi politik yang semakin rendah, generasi
potensial mengalami frustasi politik berkepanjangan dan akibatnya perlawanan
rakyat semakin tidak memiliki latar ideologis, diantaranya demo mahasiswa yang
selalu berujung anarkis, perilaku rakyat yang semakin beringas dan secara
terang-terangan melakukan tindakan melawan hukum, entitas masyarakat penggiat
masalah kerakyatan bermunculan tanpa dibarengi dengan kejelasan visi perjuangan
yang melahirkan sikap dan perilaku aji mumpung
(seolah menjadi bagian agar mendapat pembagian kue kekuasaan), maraknya
media tanpa bentuk yang hanya muncul ketika ada kasus, bahkan yang lebih celaka
lagi ketika kekuasaan memilih tindakan represif sebagai langkah penanganan
masalah,
Langkah cepat
dalam penanganan masalah kerakyatan memang sangat dibutuhkan dalam kerangka
menghentikan masalah dan menjaga kemungkinan masalah menjadi semakin menjalar
dan melebar termasuk dengan harus memilih bertindak secara represif kendati
secara sadar hal tersebut akan memunculkan rasa ketakutan dan trauma secara
mendalam bagi masyarakat, akan tetapi mengetahui akar masalah lalu mendekatinya
secara sosio cultural serta mengajak masyarakat secara partisipatif dalam
mekanisme pengambilan keputusan menjadikan
rakyat secara emosional merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pelibatan
rakyat secara partisipatif dalam konteks kepemerintahan terkhusus untuk masalah
kerakyatan bukan sesuatu yang aneh dan secara politik tidak lantas pemerintah
dianggap lemah namun sebaliknya pelibatan rakyat justeru akan semakin
menguatkan legitimasi politik pemerintah yang sedang berkuasa, sebab dengan
semakin aktifnya rakyat berpartisipasi maka secara linier mereka akan semakin
tahu kondisi obyektif dan secara linear mereka akan semakin realistik menaruh
harapan kepada pemerintah tak terkecuali mereka juga akan semakin terpacu
menentukan langkah kemajuan untuk kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas
secara jangka panjang.
Insya
Allah!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar