RIEKE DIAH PITALOKA (Oneng)
"Ijinkan saya menyampaikan sebuah mimpi tentang Jawa Barat. Sebagai
Manusia Sunda (seperti yang dikatakan Pak Ayip Rosidi), saya yang lahir
dan di besarkan di Tanah Parahiyangan."
"Saya punya mimpi yang
barangkali tidak pernah hinggap dalam percaturan perebutan kekuasaan
yang akan terjadi di Pilkada Jabar, pada Februari 2013. Sebuah mimpi,
yang diilhami oleh masa kecil saya yang masih mengalami “ngurek” mencari
belut atau nyair gendol (ikan kecil) di aliran pematang sawah.
Saya merasa kehilangan masa-masa bermain bersama teman-teman sekolah
yang sore hari jadi tukang angon (mengembala) domba atau meri (bebek).
Saya rindu masa kecil dimana anak-anak bermain gelas sodor atau sorodot
gaplok atau gatrik di halaman madrasah, tempat saya dan kawan-kawan
“kursus spiritual" di sore hari.
Kesemua itu tanpa saya sadari
telah membentuk karakter saya sebagai manusia Indonesia yang tetap punya
karakter dan tanpa malu mengatakan, “saya orang Sunda”.
Saya
tetap bangga meski sering diledek bahasa Indonesia atau bahkan bahasa
Inggris saya tetap berlogat Sunda. Sampai kawan-kawan di DPR atau para
wartawan pun memanggil saya “si teteh”
Bagi saya, menjadi
manusia Sunda adalah hal kodrati yang membuat kita punya identitas
tersendiri. Memiliki keunikan di tengah keberagaman, bukankah itu maksud
dari Bhineka Tunggal Ika.
Sore ini saya berdiskusi kecil
dengan seorang sahabat, Kang Dedi, Bupati Purwakarta. Ada kegelisahan
yang sama tentang kenangan masa kecil yang tergerus modernitas, yang
seperti membuai namun sesungguhnya menindas. Kami sepakat, kami
merasakan ada sebuah “proyek yang tak kasat mata” yang sedang mencabut
masyarakat dari akarnya. Memisahkan rakyat dari budayanya. Diam-diam
namun sebetulnya sangat sistematik.
Di tengah obrolan ringan,
lalu Kang Dedi menyampaikan hal yang bagi saya sangat melegakan, “akang
ingin anak-anak di kampung tak malu kalau harus membantu orang tua jadi
tukang angon, mereka harus bangga jadi tukang angon.”
Saya
tanyakan bagaimana caranya. Ia menjawab dengan santai, “akang sedang
buat program budak angon, ada alokasi anggaran untuk memberikan lima
ekor domba buat anak-anak di kampung-kampung. Mereka akan didampingi
diberi pelatihan bagaimana cara merawat domba.”
Sebuah gagasan
yang luar biasa bagi saya, “ekstrakulikuler yang memberdayakan”.
Anak-anak dilatih menjadi enterpreneur sejak dini, namun tanpa disadari
lewat sebuah keputusan politik yang berbasis kecintaan pada budaya,
sekaligus akan mempertahankan ke-Sunda-an kita.
Kembali soal
Pilkada Jabar, dari obrolan ringan dengan Bupati Purwakarta, saya
mendapatkan pencerahan. Jika ingin menghadirkan jati diri Tatar Sunda,
model-model dialog dengan para bupati dan walikota tentu sesuatu yang
harus dilakukan secara rutin.
Bukan sekedar lewat jalur formal Musrenbang, namun lewat “sambung rasa” persahabatan, sabilulungan (gotong royong) kuncinya.
20 kota dan kabupaten di Jawa Barat pasti punya ciri khas dan identitas
lokal masing-masing. Lewat jalur kebudayaan, saya yakin sebuah
kekuasaan akan lebih memanusiakan rakyat, tak mencabutnya dari akar
kultural tiap daerah.
Untuk semua itu saya harus belajar dari
mereka para bupati dan walikota yang telah terlebih dahulu berjuang
lewat keputusan-keputusan kebijakan sekaligus anggaran.
Dari
mereka saya akan belajar bagaimana kita bisa sama-sama bersama rakyat di
Parahiyanga kelak akan berani dengan kepala tegak berkata, “saya rakyat
Indonesia sekaligus orang Sunda, berasal dari Tanah Parahiyangan yang
rakyatnya tak lagi hidup dalam kemiskinan dan kebodohan karena kami
mempertahankan diri sebagai manusia Sunda”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar