Ini kisah nyata. sudah jadi tradisi, di setiap daerah, di mana pun kita merantau, org bima pasti suka ngumpul. bukan karena kita kampungan, apa lagi ga gaul, tp karena ikatan persaudaraan kita semakin kuat di tanah rantau. Di Bali, jumlah ndai Mbojo tak sebanyak di daerah lain. Syukur juga, karena dgn begitu, dalam organisasi semi formal kami berg...abung dgn dompu, merasa sama2 mbojo alias wati wara kabae angi. Semuanya akur, kompak n meci angi.
Suatu hari, di bulan Desember 2002, saya bertemu kawan dari Ende, Flores. Namanya Vallerian Wangge. Biasa disapa, Rian. Kami mimbincangkan berbagai hal tentang perkumpulan maupun budaya dan adat istiadat. Termasuk mengulas sejarah ekspansi kesultanan bima di pulau flores. Awalnya dia ragu klo bima benar2 menaklukan/menguasai sebagian daratan flores. untuk membuktikan, saya mencoba metode sederhana. sy mencocokan beberapa kosa kata bahasa bima dgn bahasa daerahnya. ternyata banyak kesamaan. saya bilang, "itu buktinya! Heheheh," kami pun tertawa dalam kemesraan diskusi antar budaya.
Nah, saking asyiknya sy ngobrol berbagai hal, lintas budaya, saya tidak sadar ternyata saya tadi mengajak teman perempun. Namanya Sulistianingsih, biasa disapa Lis. Kami memang biasa ke tempat tongkrongan, sudut pasar Sanglah untuk bertemu kwn2 lintas profesi, budaya, idiologi, agama, aliran seni, dll. Di tongkrongan tersebut semuanya menjadi taman indah yg beragam. Penuh warna.
Saya kaget, begitu menatap ke arah Lis. matanya berkaca-kaca, mukanya sedikit cemberut. "Kamu sih, Da. Udah ngajak anak orang, eh..malah dicuekin. Cewek mana yg ga kesal dikacangin kayak gitu. Pantas aja ga ada cewek yg betah ama kamu" kata Rian, ngeledek saya.
Seperti umumnya lelaki yg ingin tampil wibawa dan terlihat bak superman di mata perempuan, saya pun berusaha menarik simpati Lis. Posisi duduk saya geser mendekat ke arahnya. "Kenapa sih, gitu aja kog ngambek?" tanya saya. Memang tak biasanya Lis merajuk seperti ini. Dua tahun menjalin hubungan sebagai kekasih (cieeeeh), dia tergolong cewek yg "tahan banting" diajak ke tongkrongan diskusi mana pun ia betah. Sering pula saya terpaksa mengakhiri pembicaraan dgn kawan, saat sadar ternyata dia udah terlelap, tidur di samping saya. Sering pula, dalam kondisi terantuk-antuk sy mengantarnya pulang ke rumah dengan motor CB 100 tua, motor warisan sebe (doumatua mone) dari bima yg sy bawa ke denpasar.
"Ga pa2, bang. Lis ga ngambek kog!" jawab Lis. butiran air mata yg tak henti basahi pipinya, tentu saja tak selaras dgn alasan terucap. Saya semakin bunging. Panik. Was-was. Lalu meningkatkan eskalasi usaha utk menacari tahu, kenapa malam ini ada air mata berlinang pada wajah wanita yg slalu setia menemani saya ke tempat tongkrongan mana pun. Bahkan sering menjadi pahlawan sy sebagai anak kos waktu itu. Karena setiap ngantar Lis pulang, Ibunya pasti udah menyajikan makanan. heheheh... ketahuan deh...
Kali ini saya mengambilkan sate siput dan segelas wedang jahe kesukaannya. Berusaha memanjakan ceritanya, walaupun ujung2nya nanti, saat bayar, duit keluar dari dompet Lis. hehehe... Kali ini dia akhirnya berterus terang. Service wedang jahe plus sate siput sepertinya membuahkan hasil.
"Mau ngobrol ampe pagi juga, Lis nemanin, Bang. Toh slama ini ga pernah ada masalah. Lis asyik2 aja kog. Lis menanis karena ada perasaan berkecamuk dalam diri Lis, saat mendengar obrolan Bang Mudda ama Bang Rian. Begitu asyik dan nikmatnya mengupas kampung halaman. Renyahnya menengok sejarah daerah. Gurihnya bicara kesenian daerah. Lah! Lis merasa iri, karena ga punya dan ga merasakan itu semua. Lis ga punya cerita apapun, Bang" kata Lis menjelaskan.
Saya akhirnya sadar arti air mata kekasih itu. Maklum. Lis lahir dari keluarga campuran, Bapak Jawa, Ibu Bali. Sejak lahir hingga tamat SMA, orangtua tinggal di Jakarta. Orangtua baru saja tinggal di Bali, sejak Lis kuliah. Di Jakarta Lis ga mungkin ngaku sebagai orang Betawi, walau ia lahir dan besar di sana. Sesekali, saat pulang ke Jawa, ia tak memiliki ikatan emosional dengan adat istiadat di sana. Merasa garing berada ditengah-tengah saudara yang lain. Saat tinggal di Bali, Lis juga merasa kikuk dan salah tingkah saat mengikuti acara-acara adat.
Hmmmm…. Terjawab sudah arti air mata kekasih. Sejak saat itu, saya panggil dia dengan “Ika”. Sebuah panggilan mesra ceritanya. Heheh… “Kau tak perlu menangis say…. Kau pun tak perlu sesali atas semua itu. Keberagaman tradisi asal-usul dan tradisi yang membesarkanmu, hingga kau pantas menyandang anak “Bhineka Tunggal Ika”. Sekarang kupanggil kau Ika,” kata saya. Sebuah panggilan mesra, cukup menghibur. Panggilan pelipur lara. Sebuah panngilan yang merubah raut muka sedih menjadi senyuman terindah yang pernah kusaksikan dari wajah kekasih. “Teng! Teng! Teng!” suara ketukan sedok berdau pinggir mangkok Bu Agus, pemilik angkringan, pertanda angkringan mau tutup. Suara itu pula yang menyentakan kekasihku. Tersadar. Sejak saya panggil dia Ika, wajahnya dibenamkan sesaat di pundakku. Bu Agus melempar senyum simpul, mungkin teringat kenangan masa madu dengan Pak Agus. Heheheh….(Sekian)
Kali-kali aja pengalam saya di atas punya makna. Lebih dari kisah cinta di pelem-pelem India. Wkwkwkwk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda dan Tinggalkan Komentar !